Media Monitoring : Jebakan "Compassion Fatigue" Saat Mengikuti Isu Berita

Dalam sehari terakhir, berita tentang peristiwa yang menyedihkan atau membuat Anda emosi apa saja yang masih menjadi perhatian utama Anda? Masihkah Anda memerhatikan isu "panas" minggu lalu atau bahkan tahun lalu? Jika tidak maka bisa jadi Anda terjebak dalam "compassion fatigue".

SERI MEDIA MONITORING

Sugihandari

2 min baca

Siapa dari Anda yang sampai saat ini masih mengikuti berita tentang Munir? Ada yang tahu bagaimana nasib korban peristiwa Mei 1998 sekarang? Atau bagaimana kondisi terkini warga terdampak luapan lumpur lapindo? Terakhir, apakah Anda pagi ini masih mencari perkembangan terbaru kabar dari Gaza dan Rafah?

Jika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah: bukan, tidak, atau tidak tahu maka Anda perlu tahu tentang konsep compassion fatigue. Konsep yang menurut saya harus diwaspadai seorang peneliti atau analis yang bergaul dengan monitoring media.

Apa itu compassion fatigue?

Konsep ini dipaparkan Susan D. Moeller dalam bukunya Compassion Fatigue: How the Media Sell Disease, Famine, War and Death (1999). Karena mengambil sudut pandang media, Moeller menjelaskan kaitan konsep ini dalam memproduksi dan merawat isu berita tetap ada dalam pemberitaan dan wacana publik.

Sederhananya, compassion fatigue atau kepenatan akan keharuan menggambarkan kondisi ketika kita sudah merasa penat atau bisa jadi "bosan" dengan paparan berita-berita mengenai peristiwa krisis yang sedikit banyak mengandung kesedihan atau hal buruk.

Saya ambil contoh Pandemi Covid-19 yang berlangsung empat tahun terakhir menjadi peristiwa yang mengandung banyak sisi dari nilai berita. Magnitudo, signifikansi, proksimitas, kebaruan, dan human interest merupakan nilai berita yang secara khusus "menjaga" keberlangsungan isu ini. Meski demikian, kabar buruk yang lebih banyak tersebar dibandingkan kabar baik terkait Covid-19 dalam periode yang panjang membuat kita di satu titik tidak ingin mengikutinya.

Jenuh secara emosional bertemu dengan kecenderungan durasi atensi seseorang yang semakin terbatas di tengah peristiwa-peristiwa lain yang susul menyusul hadir. Ini dari sudut pandang khalayak penerima berita. Bagaimana sudut pandang media sebagai produsen berita?

Moeller dalam bukunya mengutip pernyataan salah satu narasumbernya yakni Tom Kent, editor berita internasional di the Associated Press. Kent memberi gambaran bagaimana compassion fatigue menjadi pertimbangan dalam melakukan peliputan sebuah isu krisis. “Pada dasarnya, dalam peliputan kami, kami meliput sesuatu sampai tidak banyak lagi hal baru yang bisa dilaporkan. Dan kemudian kami mengurangi liputan harian dan kembali lagi seminggu atau sebulan kemudian, bukan hari ke hari.” Dia dapat katakan, bahwa kesamaan situasi akan mendorong audiens ‘tidur’.

Lalu, dimana jebakan compassion fatigue dalam monitoring berita? Sederhananya seperti ini. Ketika kita melakukan penelitian tentang pemberitaan peristiwa krisis, kita ambil contoh kecelakaan pesawat terbang yang jatuh di laut, maka monitoring isu berita tersebut dilakukan sejak jatuhnya pesawat. Dalam situasi tersebut media akan meliput dari waktu ke waktu dengan frekuensi yang sangat tinggi di awal peristiwa dan semakin berkurang seiring waktu. Variasi isi peliputan pun sudah mencakup segala hal dari pencarian sampai evakuasi dan investigasi, dari jumlah korban sampai kompensasi bagi ahli waris. Ketika media sudah meliput segala sisi selama periode yang panjang maka pola seperti yang disebutkan Kent di atas kerap berlaku.

Jebakan mewujud seperti yang disebut Moeller, ada lingkaran timbal balik dalam perlakuan atas krisis dengan intensitas rendah: mengoceh tentang liputan “same-as-it-ever-was” di media menyebabkan publik kehilangan ketertarikannya, dan persepsi media bahwa audiensnya kehilangan ketertarikan membuat media mengurangi liputannya, yang menyebabkan publik meyakini bahwa krisis yang ada bisa jadi sudah selesai atau kurang genting dan sebagainya dan sebagainya.

Akhirnya, peristiwa krisis tadi hilang dari radar publik meskipun kenyataannya masih berlangsung di lapangan. Hasilnya, monitoring berita yang kita lakukan menemukan kondisi yang tidak ideal dimana subjek penelitian kita "menghilang" dan tidak dapat dipantau sebagai unit analisis. Tentu saja hal ini bisa menjadi catatan dalam laporan analisis. Meski demikian, bukankah akan jadi persoalan jika monitoring berita media yang dilakukan adalah mengenai krisis yang menimpa klien kita?

#SGH data-driven solution